Minggu, 18 September 2011

Kutemukan Cinta di Kalibago

ini adalah tulisan dari seorang pemuda dari seminaris garum,
yang bernama

Christophorus Ardi Nugraha

 

Pengalaman jatuh cinta adalah pengalaman yang biasa bagi remaja, bahkan bagi seminaris calon imam. Pengalaman ini pun saya rasakan saat live in di stasi Kalibago. Dan otomatis, pengalaman ini menjadi pengalaman yang paling berkesan dan paling menyentuh bagi saya.
Harapan yang tak terkabul
Sebelum live in saya sangat berharap tidak ditempatkan di rumah umat yang memiliki anak perempuan, terutama gadis yang kurang lebih seusia saya. Saya dengan senang hati dititipkan dimanapun, bahkan di rumah umat yang paling susah sekalipun, asal tidak ada gadis di situ. Karena saya sadar, di situlah letak kelemahan saya.
Hari pertama di Kalibago, saat pembagian tempat tinggal, saya agak lega saat mendengar keterangan dari ketua stasi, Pak Pon, bahwa mudika di Kalibago banyak yang bekerja di luar kota. Saya pun masih tetap semangat saat mulai diantar menuju rumah yang akan saya tinggali. Bayangan mengenai kegiatan harian petani desa – merumput di pagi hari, mencangkul di ladang hingga siang hari, memberi makan ternak, dan lain-lain – mulai muncul dalam benak saya.
Semangat saya mulai surut ketika saya mulai berbincang-bincang dengan nyonya rumah (selanjutnya akan saya panggil ibu). Dari situ saya mengetahui bahwa beliau mempunyai tiga anak dan yang masih tinggal di rumah adalah putri bungsunya. Dug! Tetapi saya cukup lega saat mengetahui bahwa sang putri masih kelas tiga SMP. Huft… Lumayan tenang, apalagi disini saya tindak tinggal sendiri. Saya tinggal bersama Risa karena keluarga yang sedianya akan menampung salah satu dari kami tidak bisa menerima. Mungkin karena masih repot. Meski demikian, saya masih tetap was-was.
Inner beauty: semakin lama semakin bersinar
Saya memulai hari pertama live in dengan membantu ibu ngrajang kunyit, karena memang hampir semua warga di situ memiliki pekerjaan sampingan ini. Pada saat inilah kami (Risa dan saya) berjumpa dengan Ningsih, nama gadis itu.
Kesan pertama, masih biasa saja. Dan memang Ningsih yang lebih aktif bertanya daripada kami.
Malam pertama live in, kami mulai kunjungan umat. Rencananya saya dan Risa akan berjalan sendiri-sendiri. Eh! Ternyata Alex dan Clinton datang. Akhirnya kami (Risa, Alex, Clinton, Ningsih, dan saya) kunjungan rame-rame. Dan memang, obrolan kami hanya obrolan ringan.
Setelah kunjungan, satu permata Ningsih mulai bersinar. Malam itu saya menemaninya belajar bahasa Inggris. Saya sangat kagum dengan kerja kerasnya dalam belajar. Semangat belajar sebesar ini sangat jarang saya temui, bahkan diantara seminaris sekalipun. Waktu saya memintanya menyalin dan menghapalkan beberapa kata berserta artinya dari kamus untuk berlatih menambah vocabulary, dia pun mengerjakannya. Sebagai seminaris, saya cukup malu karena seringkali saya tidak memiliki semangat belajar sebesar ini.
Permata kedua saya temukan saat saya istirahat siang keesokan hari. Siang itu, Ningsih membangunkan saya. Untuk apa? Membuat rosario. Saya kira itu rosario seperti yang biasa saya buat di seminari. Ternyata bukan! Apa perbedaanya? Manik-manik rosarionya terbuat dari kalender bekas.
“Aku sebisa mungkin cari bahan yang ndak perlu beli, supaya adik-adik BIAK nanti ndak kesulitan cari bahan,” kata Ningsih.
Wow! Hasilnya memang belum sempurna, belum bagus benar. Tetapi dengan ketekunan, saya yakin, hasilnya pasti akan memukau. Sungguh! Ide ini sekalipun belum pernah melintas di benak saya.
Hari ketiga, Risa “pindah rumah”. Risa akan menginap di rumah Pak Ismani karena kemarin sore beliau menawari kami untuk tinggal di rumahnya. Jadilah saya tinggal sendiri.
Sepanjang pagi, saya membantu ibu ngrajang kunyit sambil mengobrol. Dari obrolan itu, saya mengetahui satu lagi permata Ningsih. Dari ibu, saya mengetahui bahwa Ningsih mempunyai kebiasaan berpuasa setiap Senin, Kamis, dan Jumat. Ibu tidak apa tahu alasannya. Saat saya menanyakan pada Ningsih, dia hanya menjawab bahwa dia ingin ikut ambil bagian dalam sengsara Yesus. Wow! Unbelievable! Ternyata jaman sekarang masih ada gadis seperti ini. Benar-benar permata yang belum pernah saya temui.
Ada satu lagi permata Ningsih yang benar-benar membuat saya silau, sesilau-silaunya. Dia ingin menjadi biarawati! Benarkah? Awalnya saya juga tidak percaya. Tetapi setelah saya banyak bertukar pikiran dengan Ningsih, melihat sikap kesehariannya, bergaul dengannya, saya mulai percaya bahwa dia memang memiliki cita-cita menjadi biarawati. Wow!
Dari permata-permata yang saya temukan, saya mulai sadar bahwa Ningsih memang memiliki inner beauty yang semakin lama semakin bersinar. Dan membuat saya semakin terpikat.
Pergulatan yang meneguhkan
Sebenarnya tujuan live in ini adalah mengajak para seminaris untuk belajar kepada umat mengenai kehidupan iman di tengah kesulitan-kesulitan hidup. Namun, pengalaman ini kurang dapat saya rasakan.
Selama live in saya tinggal di rumah Ningsih. Keluarga Ningsih adalah keluarga yang cukup mampu dalam ukuran masyarakat Kalibago. Ayahnya adalah Kepala SD dan ibunya juragan hasil bumi. Praktis, pekerjaan saya selama live in tidak seberat teman-teman yang tinggal di keluarga petani.
Namun, perjuangan saya sepulang live in tidak kalah berat dengan perjuangan teman-teman selama live in. Jika selama live in teman-teman harus bergulat secara fisik dan pasti berakhir setelah live in, saya tidak. Perjuangan saya masih harus berlanjut, bahkan setelah live in. Karena perjuangan saya adalah benar-benar perjuangan iman.
Seperti yang telah saya ungkapkan pada awal refleksi ini, saya memiliki kelemahan dalam hal relasi dengan lawan jenis. Sebagai seorang lelaki, saya mengakui bahwa saya sangat mudah tertarik dengan wanita. Apalagi bila wanita tersebut termasuk dalam kriteria “wanita idaman” saya. Wanita yang demikian benar-benar akan membuat saya “makan tak enak, tidur tak nyenyak.”
Hal itulah yang saya alami setelah berjumpa dengan Ningsih. Dia benar-benar tipe “wanita idaman” saya. Memang secara fisik dia tidak cantik, tetapi dia memiliki inner beauty yang tidak dimiliki sembarang wanita. Dan kecantikannya sungguh membuat saya terpikat. Pesona Ningsih membutakan saya.
Saya benar-benar kelimpungan dengan keadaaan ini. Saya tidak dapat melihat dunia. Mata ini hanya melihatnya. Sejak awal saya saya sudah mohon pada Tuhan supaya tidak menempatkan saya pada keadaan semacam ini. Tetapi Tuhan malah mengabulkan sebaliknya. Saya benar-benar kecewa! Ingin rasanya saya menghujat Tuhan. Dan itu benar-benar saya lakukan karena saya mulai meragukan panggilan saya. Saya tidak tahu apa yag terjadi dalam diri saya saat itu. Saya mulai merasa tidak pantas meniti jalan ini. Sungguh! Tiada dunia tanpa Ningsih!
Telingaku Buta Mataku Tuli
Dia memberi hati,
namun aku hanya melihat diri.
Dia ajak ku bernyanyi,
daku malah bermimpi.
Dia berlari kesana-kemari,
diriku duduk termenung di sini.
Sungguh….
Mataku mulai tuli
dan telingaku mulai buta.
Aku abaikan suara hati
dan berpaling ikuti kurawa.
Mataku melihatlah!
Telingaku mendengarlah!
Janganlah mata jadi telinga!
Atau telinga jadi mata!

Bapa…
Bukalah mata, telinga, serta mulutku.
Supaya hatiku selalu merindukan-Mu
Kalibago, 2 Oktober 2010
Cinta memang tak dapat diduga. Ia datang tanpa dipanggil dan pergi tanpa diminta. Perjumpaan dengan Ningsih sungguh sangat mengejutkan dan perpisahannya menyakitkan. Saya merasa kesulitan bangun lagi setelah jatuh.
Syukur pada Allah. Bapaku selalu membantuku bangun kembali setelah Ia membiarkan diriku terjatuh. Ia tak pernah membiarkanku berjalan sendirian. Ia selalu mengutus malaikatnya untuk berjalan bersamaku.
Setelah beberapa hari “merana” karena berpisah dengan Ningsih, saya mulai dapat menata diri lagi. Puji Tuhan! Di seminari saya tidak pernah kehabisan sahabat yang mau menemani saya yang merana ini, sahabat yang mau berbagi kesedihan dengan saya. Merekalah malaikat yang dikirimkan Tuhan.
Bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi.(Luk 22:42)
Ucapan Yesus saat di Bukit Zaitun inilah yang menyadarkan saya untuk tidak lagi menyalahkan Tuhan dan diri sendiri. Saya sadar pasti ada rencana indah yang Tuhan persiapkan bagi saya dengan pengalaman ini, pengalaman yang semula saya anggap sebagai bencana. Saya semakin yakin bahwa Tuhan tidak akan memberikan ular saat saya meminta ikan dan tidak akan memberikan kalajengking saat saya meminta telur.
Saya sungguh sangat bersyukur dapat berjumpa dengan Ningsih. Dari pengalaman ini saya belajar supaya saya selalu beriman pada-Nya, bahkan dalam situasi yang tidak inginkan.
Saya juga sadar bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara. Kita mempunyai banyak peran di banyak tempat dan dalam masing-masing peran kita dituntut untuk menghayatinya demi suksesnya pentas besar kehidupan. Beberapa hari yang lalu saya berperan sebagai seminaris yang sedang live in di Kalibago. Dan sekarang peran itu sudah harus berakhir karena saya harus kembali berperan sebagai seminaris yang membina diri di seminari. Maka, saya pun harus menghayati peran yang harus saya mainkan sekarang. Demi Kemuliaan Allah!
Coba bayangkan, andai tidak ada keharusan untuk menghayati setiap peran kita. Betapa kacaunya pentas kehidupan kita?
Akhirnya, sebagai calon imam, saya sudah bangun kembali. Saya sudah mantap menatap kembali jalan yang terbentang. Saya siap melangkah kembali.

Untuk Ningsih tercinta.
Ningsih, terima kasih atas segala pengalaman yang engkau berikan saat kita bersama. Aku sangat bersyukur Tuhan memperkenankan kita berjumpa. Aku sangat mengagumimu, Ningsih. Aku terpukau dengan permata-permata yang telah engkau tunjukkan padaku. Sempat terbersit dalam benakku untuk memilikimu. Namun, aku kembali sadar bahwa Allah mengantarku padamu supaya dengan melihatmu, memandangmu, bersamamu, aku dapat semakin mencintai-Nya seperti aku mencintaimu, supaya aku pun dapat memiliki permata-permata yang kini engkau miliki.
Ningsih, kini aku harus kembali berjalan. Terima kasih engku telah menjadi malaikat pelindungku dalam menemukan makna kehidupan. Aku tak dapat membalas cinta dan ketulusanmu dengan emas atau permata. Hanya doa tulus yang kutitipkan lewat tiupan angin dan ciuman mesra yang kuhantarkan lewat hangat mentari.
Di Kalibago, aku menemukan cinta, itulah dirimu. Aku mencintaimu, Ningsih. Dan semoga cinta ini dapat aku persembahkan demi kemuliaan Allah yang lebih besar. Dan aku pun berharap semoga kelak kita dapat berjumpa kembali, tentunya dalam biara. :) Semoga kali ini Tuhan berkenan mengabulkan harapanku.
Garum, 7 Oktober 2010
Tuhan memberkati.
Ardi

1 Komentar:

Pada 9 November 2011 pukul 18.36 , Blogger WIWIN JUNIOR mengatakan...

BAGUS LG YA

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda